Keindahan Pulau Indonesia
4.keindahan laut indonesia
KabarIndonesia -
Republik kita sering disebut tanah air. Indonesia mungkin satu-satunya
negara yang mengidentifikasi dirinya sebagai negara dalam kesatuan tanah
dan air, kemudian menyebut dirinya tanah air. Tanah air – water land
—adalah sebuah eksplanasi filosofis atas posisi geografik Indonesia
dalam kesatuan bumi.
Entah dari mana mulainya, bagi saya istilah tanah dan air adalah
sebuah interpretasi cerdas bernegara yang dilahirkan oleh pendahulu
kita. Indonesia tak hanya tanah, tapi juga air. Negeri ini adalah
gugusan pulau yang dijalin oleh milyar kubik air dari Sabang hingga
Merauke, dari Timor ke Talaud. Sulit membayangkan betapa besarnya negeri
ini dengan jumlah pulau 17.508, sekitar 6.000 diantaranya pulau
berpenduduk.
Lalu, anugerah yang sungguh besar yakni luas laut Indonesia mencapai 5,8 juta km2, atau mendekati 70% dari luas keseluruhan nusantara. Sayang, laut hanyalah sebuah hamparan eksotika, bukan sumber daya pembangunan. Pembangunan Indonesia lebih cenderung berbasis daratan. Indonesia (pada kenyataannya) lebih memilih konsepland base oriented. Laut dijadikan ‘istri kedua’ (baca: dinomorduakan).
Laut adalah masa lalu milik Sriwijaya, cerita klasik imperium Majapahit yang menguasai separuh Asia Tenggara bahkan Magadaskar. Laut hanyalah bait-bait nostalgia abad ke-9 sebelum Masehi. Laut adalah romantisme sejarah tentang nenek moyang yang mampu berlayar ke Afrika dan membangun koloni di sana (Versi Pliny, sejarawan Romawi abad ke 1). Laut hanyalah hikayat dalam lagu, nenek moyangku seorang pelaut…! That’s it.
Ironisnya, pola pikir daratan lebih mendominasi seluruh aspek kehidupan di republik ini. Bahkan di bidang pendidikan, sejak usia sekolah anak-anak diajarkan lebih cenderung melukis pemandangan gunung, sawah, petani membajak sawah (kita semua pasti mengalami hal ini ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar). Banyak hal yang bisa diurai tentang kegagalan memaksimalisasi peran bangsa ini di bidang kelautan. Sebut saja, tidak adanya roadmap pembangunan kelautan atau national ocean policy atau kerangka acuan baku tentang pengelolaan laut dan masa depannya. Laut (sekali lagi) hanya bagian geografis semata bukan potensi sumber daya pembangunan dan ekonomi.
Nah, kini isu global sedang berpaling ke laut. Konon, pemanasan global yang timbul akibat efek rumah kaca memiliki negasi kuat dengan laut. Ternyata iklim dunia sangat berpengaruh dengan laut, menyusul adanya fenomena peningkatan suhu permukaan bumi dan laut, mencairnya kutub es, serta serangkaian bencana laut seperti Tsunami, El Nino. Persoalan pun bergeser. Laut yang tidak termanfaatkan justru sedang mengalami kerusakan. Secara tidak langsung berbagai aktivitas manusia memiliki dampak serius terhadap laut dan kemudian melahirkan bencana. Hasil penelitian yang dipimpin Cynthia Rosenzweig dari NASA’s Goddard Institute for Space Science di New York, menyimpulkan perbuatan manusia dalam kaitan dengan perubahan iklim telah memberi dampak yang sangat luas terhadap sistem alam, termasuk pencairan lapisan es, mekarnya tanaman lebih cepat di Eropa, dan turunnya produktivitas danau di Afrika.
Penelitian yang melibatkan peneliti dari 10 institusi berbeda ini mencoba membuat hubungan dampak secara fisik maupun biologi yang terjadi sejak tahun 1970 bersamaan dengan meningkatnya temperatur sepanjang periode tersebut. Hasilnya, pemanasan yang terjadi secara luas memang berasal dari dampak ulah manusia di seluruh bumi. Mencintai laut pada akhirnya harus menjadi pilihan untuk menyelamatkan bumi. Laut tidak hanya penghasil produk garam untuk pelezat masakan, lauk untuk makanan, sunset untuk latar belakang pose, eksotika wallpaper desktop, penampung segala sampah, penghubung negara dan benua, lebih dari itu laut adalah stabilisator alam. Laut adalah mata rantai vital ekosistem dan lingkungan mahluk hidup.
Indonesia mempunyai peran signifikan dalam mengurangi laju
Lalu, anugerah yang sungguh besar yakni luas laut Indonesia mencapai 5,8 juta km2, atau mendekati 70% dari luas keseluruhan nusantara. Sayang, laut hanyalah sebuah hamparan eksotika, bukan sumber daya pembangunan. Pembangunan Indonesia lebih cenderung berbasis daratan. Indonesia (pada kenyataannya) lebih memilih konsepland base oriented. Laut dijadikan ‘istri kedua’ (baca: dinomorduakan).
Laut adalah masa lalu milik Sriwijaya, cerita klasik imperium Majapahit yang menguasai separuh Asia Tenggara bahkan Magadaskar. Laut hanyalah bait-bait nostalgia abad ke-9 sebelum Masehi. Laut adalah romantisme sejarah tentang nenek moyang yang mampu berlayar ke Afrika dan membangun koloni di sana (Versi Pliny, sejarawan Romawi abad ke 1). Laut hanyalah hikayat dalam lagu, nenek moyangku seorang pelaut…! That’s it.
Ironisnya, pola pikir daratan lebih mendominasi seluruh aspek kehidupan di republik ini. Bahkan di bidang pendidikan, sejak usia sekolah anak-anak diajarkan lebih cenderung melukis pemandangan gunung, sawah, petani membajak sawah (kita semua pasti mengalami hal ini ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar). Banyak hal yang bisa diurai tentang kegagalan memaksimalisasi peran bangsa ini di bidang kelautan. Sebut saja, tidak adanya roadmap pembangunan kelautan atau national ocean policy atau kerangka acuan baku tentang pengelolaan laut dan masa depannya. Laut (sekali lagi) hanya bagian geografis semata bukan potensi sumber daya pembangunan dan ekonomi.
Nah, kini isu global sedang berpaling ke laut. Konon, pemanasan global yang timbul akibat efek rumah kaca memiliki negasi kuat dengan laut. Ternyata iklim dunia sangat berpengaruh dengan laut, menyusul adanya fenomena peningkatan suhu permukaan bumi dan laut, mencairnya kutub es, serta serangkaian bencana laut seperti Tsunami, El Nino. Persoalan pun bergeser. Laut yang tidak termanfaatkan justru sedang mengalami kerusakan. Secara tidak langsung berbagai aktivitas manusia memiliki dampak serius terhadap laut dan kemudian melahirkan bencana. Hasil penelitian yang dipimpin Cynthia Rosenzweig dari NASA’s Goddard Institute for Space Science di New York, menyimpulkan perbuatan manusia dalam kaitan dengan perubahan iklim telah memberi dampak yang sangat luas terhadap sistem alam, termasuk pencairan lapisan es, mekarnya tanaman lebih cepat di Eropa, dan turunnya produktivitas danau di Afrika.
Penelitian yang melibatkan peneliti dari 10 institusi berbeda ini mencoba membuat hubungan dampak secara fisik maupun biologi yang terjadi sejak tahun 1970 bersamaan dengan meningkatnya temperatur sepanjang periode tersebut. Hasilnya, pemanasan yang terjadi secara luas memang berasal dari dampak ulah manusia di seluruh bumi. Mencintai laut pada akhirnya harus menjadi pilihan untuk menyelamatkan bumi. Laut tidak hanya penghasil produk garam untuk pelezat masakan, lauk untuk makanan, sunset untuk latar belakang pose, eksotika wallpaper desktop, penampung segala sampah, penghubung negara dan benua, lebih dari itu laut adalah stabilisator alam. Laut adalah mata rantai vital ekosistem dan lingkungan mahluk hidup.
Indonesia mempunyai peran signifikan dalam mengurangi laju
5.keindahan pulau indonesia
Gunung Rinjani adalah gunung yang berlokasi di Pulau Lombok, Nusa
Tenggara Barat. Gunung yang merupakan gunung berapi kedua tertinggi di
Indonesia dengan ketinggian 3.726 m dpl serta terletak pada lintang
8º25′ LS dan 116º28′ BT ini merupakan gunung favorit bagi pendaki
Indonesia karena keindahan pemandangannya. Gunung ini merupakan bagian
dari Taman Nasional Gunung Rinjani yang memiliki luas sekitar
41.330 ha dan ini akan diusulkan penambahannya sehingga menjadi 76.000
ha ke arah barat dan timur. Dan saat ini Gunung Rinjani adalah Gunung yang paling terkenal dari Indonesia di manca negara.
sumber1: http://bodrexcaem.blogspot.com/2011/05/keindahan-alam-gunung-rinjani-lombok.html#ixzz1fXE2aOcG
sumber2: http://watiniw.wordpress.com/2013/04/16/keindahan-pulau-indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar